Ala Bisa Karena Biasa (Part 1)
Saya
terlahir dari keluarga biasa saja. Namun, orang tua saya menaruh harapan besar
kepada saya untuk menjadi perempuan muslimah, karena mungkin saya satu-satunya
anak perempuan di keluarga. Sejak kecil saya di didik untuk belajar menutup
aurat saya dengan selalu berhijab, terutama jika berada di luar rumah seperti
sekolah dan juga bermain.
Sebagai
anak perempuan, saat itu saya merasa sangat wajar dan wajib jika perempuan
muslim harus berjilbab. Alhamdulillah, lingkungan sekitar juga mengajarkan
demikian. Proses berhujjah untuk berhijab terus tumbuh sampai saya mulai
sekolah di tingkat Sekolah Dasar. Seingat saya, dulu saya hanya mengikuti
perintah orang tua. Saya belum tahu dasar hukum mengenakan hijab bagi perempuan
muslim.
Singkat
cerita, akhir bersekolah di tingkat Sekolah Dasar hampir usai. Biasanya, setiap
menjelang Ujian Nasional akan ada sesi foto ijazah bagi siswa kelas enam. Hari
itu, hari dimana mulai terjadi pembicaraan bathin dengan hati. Teman-teman saya
yang berjilbab diminta untuk melepas jilbabnya, katanya untuk kepentingan foto
ijazah. Saat itu, foto ijazah harus terlihat kedua telinganya, yang bahkan
sampai saat ini saya juga tak paham mengapa ada aturan seperti itu.
Mungkin,
karena saat itu saya dan teman-teman menganggap bahwa membuka jilbab itu hal
yang wajar, akhirnya hampir semua siswi perempuan berfoto tanpa berhijab. Jujur
saja, hari itu adalah kali pertama saya terlihat tak berhijab di luar rumah,
sejak saat itu sensasi yang berbeda sangat berdampak pada diri saya. "Wah..
ternyata enak juga yah gak berhijab. Dan gak terjadi apa-apa tuh, seperti yang
orang tua saya sering sampaikan," saya bergumam dalam hati.
Nah, mulai saat itu terjadi pergolakan bathin dalam
diri saya, apakah saya akan tetap berjilbab di tingkatan sekolah selanjutnya
atau malah memberanikan diri untuk berbeda dari sebelum-sebelumnya? Pembicaraan
dengan hati terus bergulir, sampai akhirnya saya menemukan satu keputusan
bulat.
0 Komentar